BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Uraian Bahan
2.1.1
Sulfadiazin
Gambar
1. Struktur bangun Sulfadiazin
Nama kimia : N-2-piridinil
sulfanilamide
Nama lazim : Sulfadiazinum/sulfadiazine
Rumus
kimia : C10H10N4O2S
BM : 250,27
Pamerian :Putih,
putih kekuningan atau putih agak merah jambu;
hampir tidak berbau; tidak berasa.
Kelarutan :Praktis tidak larut
dalam air; agak sukar larut dalam etanol (95%) P dan dalam aseton P; mudah
larut dalam asam mineral encer dan dalam larutan alkali hidroksida.
Khasiat dan penggunaan : Antibakteri
Dosis maksimum : Sekali 2 g, sehari 8 g (Ditjen POM,1995).
2.1.2 Furosemid
Gambar 2.Struktur bangunFurosemida
Nama kimia : Asam-4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoilantranilat
Nama lazim : Furosemidum, Furosemida
Rumus kimia : C12H11ClN2O5S
BM : 330,74
Pamerian :serbuk hablur; putih
atau hampir putih; tidak berbau; hampir tidak berasa.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam kloroform P, larut dalam 75 bagian etanol (95%) P dan dalam
850 bagian eter P; larut dalam larutan alkali hidroksida.
Khasiat : diuretikum
Dosis maksimum : 40 mg (Ditjen POM, 1995).
2.1.3 Farmakologi
2.1.3.1 Sulfadiazin
Absorbsi diusus terjadi
cepat, kadar maksimal dalam darah tercapai dalam waktu 3-6 jam sesudah
pemberian dosis tunggal.
Kira –kira 15-40% dari obat yang diberikan diekskresi
dalam bentuk asetil yang lebih mudah untk diekskresikan.Hampir 70 % obat ini
mengalami reansorbsi di tubuli ginjal dan pemberian alkali memperbesar bersihan
ginjal dengan mengurangi reabsorbsi tubuli. Karena beberapa macam sulfa sukar
larut dalam urin yang asam, maka sring timbul kristaluria dan komplikasi ginjal
lainnya. Untuk mencegah ini penderita dianjurkan minum banyak air agar produksi
tidak kurang dari 1200 ml/hari atau diberikan sediaan alkalis seperti
Na-Bikarbonat untuk menaikan pH urin.
Dosis permulaan oral pada orang dewasa 2-4 g, di
lanjutkan dengan 2-4g dalam 3-6 kali pemberian, lamanya pemberian tergantung
dari keadaan penyakit. Anak – anak berumur lebih dari dua bulan diberikan dosis
awal setengah dosis perhari kemudian dilanjutkan dengan 60-150 mg/Kg BB dalam
4-6 kali pemberian. Sediaan biasanya terdapat dalam bentuk tablet 500 mg ( Tjay,2002
).
2.1.3.2 Furosemid
Furosemid merupakan obat golongan diuretik kuat, yang
efektif terhdap pengobatan udem akibat gangguan jantung, hati atau ginjal dan
hipertensi. Pengobatan dengan furosemid sering menimbulkan permasalahan
bioavaiabilitas per oral (Al Obaid et al 1989 ; Sutriyo, et
al.,2005).
Diuretik kuat terutama bekerja dengan cara menghambat
reabsorbsi elektrolit di Ansa Henle
asenden bagian epitel tebal. Pada pemberiannya secara IV obat ini cenderung
meningkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi
glomerulus. Perubahan hemodinamik ginjal mengakibatkan menurunya reabsorbsi
ciran dan elektrolit di tubuli proksimal serta meningkatnya efek awal diuretik.
Peningkatan aliran darah ginjal ini relatif hanya berlangsung sebentar, dengan
berkurangnya cairan ekstraseluler akibat diuresis, maka aliran darah ke ginjal
menurun dan hal ini akan mengakibatkan meningkatnmya reabsorbsi cairan dan
elektrolit di tubuli proksimal. Hal yang terakhir ini agaknya merupakan
mekanisme kompensasi yang membatasi jumlah yang terlarut yang mencapai bagian
epitel dengan demikian akan mengurangi diuresis ( Tjay,2002 ).
Bioavailbilitas
furosemid 65%. Diuretik kuat secara cepat diabsorpsi dan dieliminasi melalui
sekresi ginjal dan filtrasi glomerulus. Respons diuretik secara cepat setelah
pemberian intravena. Lamanya efek bervariasi 2-3 jam. Waktu paruh tergantung
fungsi ginjal. Karena furosemid bekerja pada bagain luminal tubulus, respons
diuretik berhubungan secara positif dengan sekresinya di urin. Gangguan sekresi
dan bersihan obat ini mungkin terjadi bila obat tersebut diberikan bersamaan
dengan obat-obat seperti indometasin dan probenesid, yang akan menghambat
sekresi asam lemah di tubulus proksimal (Jawetz, 1997).
2.2. Uji Disolusi
2.2.1 Bahasan Umum Uji Disolusi
Suatu produk obat dapat berbeda
dari produk pabrik lain dalam hal bahan baku, komposisi/formula, serta
fabrikasinya. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan perbedaan dalam pelepasan
bahan obat dari sediaan yang akhirnya akan berpengaruh pada efikasi/kemanjuran
produk tersebut. Pada umumnya produk obat mengalami absorbsi sistemik melalui
suatu rangkaian proses yang meliputi :
- disintegrasi produk yang diikuti dengan pelepasan obat
- pelarutan obat dalam media “aqueous”
- absorbsi melalui membran sel menuju sirkulasi sstemik
Pada ketiga proses di atas ditentukan oleh tahap yang
paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetic yang sering disebut tahap
penentu kecepatan (Rate Limiting Step). Untuk obat yang mempunyai
kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan seringkali merupakan tahap yang
paling lambat di dalam, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu
kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Sebaliknya untuk obat yang mempunyai
kelarutan besar dalm air, laju pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau
tembus obat melewati membran merupakan tahap penentu kecepatannya.
Telah banyak publikasi yang
menyatakan adanya hubungan yang bemakna antar kecepatan disolusi berbagai bahan
obat dari sediaannya dan absorbsinya. Obat-obat tersebut umumya meliputi
obat-obat yang kecepatan disolusinya sangat lambat yang disebabkan kelarutannya
sangat kecil. Obat-obat yang memiliki kecepatn disolusi intrinsik yang < 0,1
mg/menit.cm2 biasanya menimbulkan masalah serius pada absorbsinya,
seangkan obat-obat yang memiliki kecepatan disolusi intrinsic > 1,0
mg/menit.cm2. Pada umunya kecepatan disolusi bukan menjadi langkah
penentu, tapi kecepatan absorbsinya.
Secara sederhana, disolusi adalah
proses dimana zat padat melarut. Secara prinsip dikendalikan oleh afinitas
antara zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari
berbagai bentuk sediaan padat terlibat berbagai proses disolusi yang melibatkan
zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan
penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses
disintegrasi, dan degradasi sediaan, merupakan sebagaian dari faktor yang
mempengaruhi karakteristik disolusi obat dari sediaan.
Banyak
cara untuk mengungkapkan hasil kecepatan pelarutan suat zat atau sediaan,
berikut adalah beberapa cara penentuan kecepatan pelarutan suatu zat:
1. Metode Klasik
Metode
ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang
kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan metode ini hanya
menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tida
diketahui. Titik tersebut menyatakan jumlah zat aktif
yang terlarut pada waktu tertentu.
2. Metode
Khan
Metode ini kemudian dikenal
dengan konsep dissolution efficiency (DE) area di bawah kurva disolusi di antara titik waktu
yang ditentukan. Dirumuskan dengan persamaan sebagi berikut :
DE = 0t ∫Y
dt x 100%
Keuntungan
metode ini adalah :
- Dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan harga DE
- Dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo karena penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara penggambaran pecobaan in vivo
3. Metode linierisasi kurva
kecepatan pelarutan dengan menggunakan sebagai contoh persamaan wagner
Berdasarkan pada asumsi sebagai
berikut :
a. kondisi percobaan harus dalam
keadaan sink
b. proses
pelarutan mengikuti orde I
c. luas
permukaan spesifik (S) turun secara eksponensial fungsi waktu
d. kondisi
proses pelarutannya non reaktif
Menurut Suarbrick, J.
(1970), faktor – faktor yang
mempengaruhi disolusi:
1. Pengurangan
ukuran partikel
Pengurangan
ukuran partikel obat menambah luas permukaan obat, sehingga menambah luas
permukaan obat yang terkena medium disolusi sebagai hasilnya menambah absorbsi.
2. Bentuk
kristalisasi obat
Obat
– obat tertentu dapat berada dalam bentuk amorf atau sebagai bentuk kristal
(polimorf). Polimorf mempunyai struktur kimia sama tetapi berbeda sifat fisik
seperti kelarutan, afinitas, kekerasan dan lain-lain.
4. Hidrat atau
solvat
Solvat
: obat yang bergabung dengan molekul pelarut untuk menambah bentuk kristal.
Bila pelarut adalah air, solvate yang terbentuk disebut hidrat.
5. Garam
Laju
disolusi dan absorbsi dari garam-garam mono valen dari obat-obat asam lemah
atau garam-garam asam kuat dari obat asam basa lemah biasanya akan lebih cepat
daripada asam atau basa bebasnya.
6.
Faktor-faktor formulasi
Bahan-bahan
tambahan dan cara yang dipakai dalam formulasinya dan pembuatan sediaan bentuk
padat dapat mempengaruhi pelepasan obat dalam cairan gastrointestinal dan oleh
karena itu mempengaruhi laju absorbsi.
Disolusi ( pelarutan)
adalah proses dimana suatu zat padat menjadi terlarut dalam suatu pelarut.
Dalam sistem biologik disolusi obat dalam media “aqueous” merupakan suatu
bagian penting sebelum kondisi absorbsi sistemik. Laju disolusi obat-obat
dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh
terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorbsi sistemik
obat (Abdou, 1995).
2.2.2 Metode Uji disolusi
Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian
antara persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk
sediaan tablet dan kapsul , kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus
dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali
bila dinyatakan dalam masing-masing monografi , uji disolusi atau uji waktu
hancur tidak setara khusus dinyatakan untuk sediaan bersalut enterik, maka
digunakan cara pengujian untuk (Ditjen POM, 1995).
a.
Metode Keranjang (Basket )
Metode
keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor.
Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi
media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan
37oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi
rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar
kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat
operasi telah dipenuhi (Ditjen
POM, 1995).
b.
Metode
Dayung (Paddle)
Metode
dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang berfungsi
memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara
vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali.
Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga
berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan
dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket
dipertahankan pada 37oC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan
dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa
produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat
mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan
untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan (Ditjen POM, 1995).
c.
Metode
Disintegrasi yang Dimodifikasi
Metode
ini dasarnya memakai disintegrasi USP ”basket and rack” dirakit untuk
uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk pelarutan maka cakram dihilangkan.
Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel tidak akan
jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan dalam USP
untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran membuat metode
ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat (Shargel, L., 1988).
2.2.3 Guna Uji Disolusi
Ø Disolusi merupakan profil pelepasan zat aktif dari
sediaan
Ø Uji disolusi merupakan pengujian mutu sediaan tablet dari
batch ke batch
Ø Data uji disolusi juga penting untuk
pengembangan mutu sediaan (Shargel,
L, 1988).
2.3 Bioavialabilitas
2.3.1 Bahasan Umum Bioavailabilitas
Konsep bioavailabilitas pertama kali
diperkenalkan oleh Osser pada tahun 1945, yaitu pada waktu Osser mempelajari
absorbsi relatif sediaan vitamin. Istilah yang dipakai pertama kali adalah
availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluas pengertiannya dengan istilah
biavailabilitas. Dimulai di negara Amerika Serikat, barulah pada tahun 1960
bioavailabilitas masuk ke dalam arena promosi obat. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya
produk obat yang sama yang diproduksi oleh berbagai industri obat, adanya
keluhan dari pasien dan dokter dimana obat yang sama memberika efek terapetik
yang berbeda, kemudian dengan adanya ketentuan tidakdiperbolehkannya apotek
mengganti obat yang tertulis dalam resep dengan obat merek lainnya. Sebagai
cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai defenisi tentang
bioavailabilitas dalam berbagai literatur.
Bioavailabilitas (BA) adalah persentase obat
yang diresorbsi tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia, untuk
melakuka efek terapeutisnya. Dibeberapa negara (AS, Jerman), BA mencakup pula
kecepatan dengan mana obat muncul disirkulasi darah. Biasnya efek obat baru
mulai tampak sesudah obat sistem pembuluh porta serta hati kemudian tiba
diperedaran darah besar yang mendistribusikannya keseluruh jaringan
(Ringoringo,V.S. (1985).
Penerapan ketersediaan hayati berkembang dalam dua
arah, yaitu:
1. Farmasi klinik yang berkaitan dengan rasionalisasi
keadaan individu penderita, artinya penyesuaian pasologi yang tepat pada setiap
penderita, dengan mempertimbangkan perubahan farmakokinetika in vivo, baik
karena interaksi obat maupun karena fungsi fisiolagi.
2. Farmasetika yang berkaitan dengan rasionalisasi
pengembangan suatu obat, yaitu penyesuaian optimal jalur pemberian obat dan
bentuk sediaan terhadap karakteristik farmakokinetika zat aktif.
Kedua arah pengembangan tersebut tercakup dalam
lingkup penelitian biofarmasetika dan berkaitan dengan penyesuaian pada kurva
profil kadar zat aktif dalam darah penderita dan efek yang diteliti.
Data ketersediaan
hayati digunakan untuk menentukan:
1. Banyaknya obat
yang diabsorbsi dari formulasi sediaan.
2. Kecapatan obat
yang diabsorbsi.
3. Lama obat berada
dalam cairan biologi atau jaringan dan dikorelasikan dengan respon pasien.
4. Hubungan antara kadar obat dalam darah dan efikasi
klinis serta toksisitas (http://firda05.wordpress.com//ketersediaan-hayati ).
2.3.2 Tujuan Penelitian Bioavailabilitas
Evaluasi ketersediaan hayati suatu obat atau berbagai
bentuk sediaan farmasi dengan zat aktif yang sama mempunyai tiga tujuan yaitu :
- Dalam rangka pengembangan obat baru, untuk mengetahui cara pemberian dan bentuk sediaan suatu obat baru
- Setelah keputusan obat baru dibuat, untuk menentapkan mutu suatu obat dan pengaturan kondisi pemakaian obat sebagai fungsi dari keadaan penderita
- Berkaitan dengan undang-undang, untuk memastikan kesetaraan mutu oabt yang diteliti denagn mutu obat sejenis yang dihasilkan oleh pabrik lain, sehingga memungkinkan pengantian obat.
Studi bioavialabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat
aktif yang telah disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapetik yang
belum disetujui oleh FDA untuk dipasarkan. Formula baru dari bahan obat aktif
atau bagian terapetik sebelum dipasarkan harus disetujui oleh FDA. FDA dalam
menyetujui suatu produk obat untuk dipasarkan harus yakin bahwa produk obat
tersebut aman dan efektif sesuai label indikasi pengguanaan. Selain itu, produk
obat juga harus memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas,
kekuatan, kualitas dan kemurnian. Untuk meyakinkan bahwa
standar – standar tersebut telah dipenuhi, FDA menghendaki studi bioavialabilitas/farmakokinetika
dan bila perlu persyaratan bioekivalensi semua produk obat.
Studi bioavailabilitas in vivo juga dilakukan terhadap
formula-formula baru dari bahan obat aktif yang telah mendapat persetujuan FDA dan disetujui untuk dipasarkan. Maksud studi ini
adalah untuk menentukan bioavailabilitas dan karakterisasi farmakokinetik
formulasi, bentuk sediaan, garam atau ester baru terhadap suatu formula
pembanding.
Setelah bioavailabilitas
dan parameter-parameter farmakokinetik dari bahan obat aktif diketahui, aturan
dosis dapat diajukan untuk mendukung pemberian label obat.
Sebagai ringkasan, studi
klinik berguna dalam menentukan keamanan dan efikasi produk obat. Studi
bioavailabilitas berguna dalam menetapkan produk obat dalam kaitan pengaruhnya
terhadap farmakokinetik obat; sedangkan studi bioekivalensi berguna dalam
membandingkan bioavailabilitas suatu obat dari berbagai produk obat. Apabila
produk-produk obat dinyatakan bioekivalen, maka efikasi dari produk-produk obat
ini dianggap sama ( Shargel,1988).
2.3.3 Faktor
– Faktor Yang Mempengaruhi Bioavailabilitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati
obat yang digunakan secara oral :
a. Sifat fisiko kimia zat aktif
· Bentuk
isomer ; alkaloid – alkaloid dan steroid – steroid terdapat dalam beberapa
bentuk isomer d atau l. Seringkali yang aktif atau lebih aktif
hanya satu saja misal : d- etambutol, d-propoksifen,d-amfetamin,
l-kloramfenikol.
· Polimorfose
; bentuk Kristal yang kurang stabil lebih mudah larut dan kemudian cepat terabsorbsi
daripada bentuk kristal yang stabil,missal kloramfenikol mempunyai 2 bentuk
polimofi A dan B ; Kristal bentuk A bersifat tidak aktif.
· Ukuran
partikel; bila ukuran partikel lebih kecil luas permukaan akan besar, sehingga
obat akan cepat melarut dan diabsorbsi.
· Hodrate dan
solvate ; kadang- kadang beberapa obat cenderung untuk mengikat beberapa
molekul pelarut. Ikatan ini disebut solvate, dan kalau pelarutnya adalah air
maka ikatan ini disebut hidrat. Ampisillin anhidrat lebih mudah larut daripada
ampisillin trihidrat, sehingga pemakaian peroral akan memberikan blood level
lebih tinggi.
· Bentuk
garam, Ester dan lainnya; gugusan estolat dri eritromisin estolat dapat
menyebabkan hepatotoksisitas, sedangkan stearatnya tidak.
· Kemurnian;
bahan baku Pinisillin yang tidak murni bisa mengandung mikrokontaminan berupa
hasil degradasi pinisillin sendiri, bahan inferior ini yang dapat menyebabkan
alergi. Namun, meskipun telah menggunakan bahan baku murni kalau cara dan
kondisi produksi dalam hal ini kebersihan, temperature, dan kelembaban kurang
baik, bahan pinisillin ini akan menimbulkan efek samping yang sama.
b.
Bahan- bahan pembantu;banyak obat- obatan dimana
pengaruh bahan – bahan pembantu dapat merubah secara drastic pola absorbsinya
dan oleh karena itu efek terapi dan toksisitasnya juga berpengaruh, seperti
meningkatnya toksisitas fenitoin setelah bahan pembantu yng semula dipakai CaSO4
diganti dengan laktosa.
c. Cara- cara prosesing
· Formulasi
obat yang sudah baik dalam suatu pabrik biasanya sama sekali berubah bila
dibuat oleh pabrik lain dengan penggunaan alat-alat yang berbeda. Hal ini
menjadi masalah kritis apabila digunakan untuk memproduksi tablet- tablet
dengan kadar zat khasiat yang rendah seperti digoksin 0,25 mg/tablet 200mg.
· Ruangan dan
kondisi- kondisinya ( temperature, kelembaban, penerangan , dan sebagainya )
yang memenuhi syarat. Misalnya pada pembuatan sediaan tetrasiklin yang
merupakan bahan baku yang kurang stabil pada kondisi tertentu sehingga dapat
mengakibatkan penguraian tetrasiklin menjadi non aktif, hepatoksik, dan
nefrotoksik.
· Tenaga-
tanaga yang kompeten.
· Dikerjakan
dengan system produksi dan system control yang baik. Dalam hal ini persyaratan-
persyaratan Good Manufacturing Practises ( GMP ) menjadi penting (http://firda05.wordpress.com//ketersediaan-hayati
).
2.3.4 Evaluasi bioavaibilitas
Evaluasi ketersediaan hayati memerlukan kerjasama suatu
tim pakar, karena :
- Keragaman reaksi makhluk hidup, kesulitan penetapan kadar runutan senyawa kimia obat dalam cairan biologis, pengaruh subyek hidup dan pengaruh bentuk sediaan farmasi.
- Pemahaman keberadaan obat di dalam tubuh mendasari pembuatan protokol percobaan. Jadi analisis hasil percobaan memerlukan seseorang pakar farmakokinetik yang dapat bekerja sama.
Penelitian biovailabilitas (ketersediaan hayati) ini kadang kadang memerlukan biaya yang mahal
karena harus menggunakan subyek manusia. Oleh sebab itulah sebelum melakukan
penelitian ketersediaan hayati perlu dilakukan serangkaian persiapan yang lengkap dan rinci agar
dapat mengolah data yang diperoleh dan dapat melakukan interpretasi yang cermat ( Aiche,
1993 ).
2.3.5 Pelaksaaan Penelitian
Bioavailabilitas
Penelitian bioavailabilitas obat memerlukan fasilitas laboratorium
analisis/bioanalitik yang canggih dengan tenaga ahli yang profesional dan harus
memenuhi persyaratan tertentu. Untuk beberapa macam obat, persyaratan
pelaksanaannya telah dikeluarkan oleh American Pharmaceutical Association dalam
bukunya The Bioavailability of Drug Products.
Secara garis besar pelaksanaan suatu penelitian bioavailabilitas obat
dilakukan sebagai berikut :
1)Pemilihan
sukarelawan yang mencakup pemeriksaan kesehatan, penandatanganan informed
consent.
2)
Periode puasa dari minum obat apapun (1 minggu)
3)
Puasa 1 malam sebelum pemberian obat
4)
Pemberian obat
5) Pengambilan
sampel darah dan/atau urin pada interval waktu tertentu.
Obat – obat yang
perlu diteliti bioavailabilitasnya adalah sebagai berikut :
1)
Obat-obat yang batas keamanannya sempit
2)
Obat-obat yang absorpsinya berfluktuasi
3)
Obat-obat yang variasi individunya besar dalam kadar plasma pada dosis biasa
4)
Diperlukan untuk mempertahankan MEC/MIC obat dalam cairan hayati selama terapi
2.3.6 Metode Penilaian Bioavailabilitas
Pemilihan metode bergantung pada tujuan
studi, metode analisis untuk penetapan kadar obat dan sifat produk obat.
Parameter-parameter yang berguna dalam penentuan bioavailabilitas suatu obat
meliputi:
- Data plasma
- Waktu konsentrasi plasma (darah) mencapai puncak (tmaks)
- Konsentrasi plasma puncak (Cp,maks)
- Area di bawah kurva kadar obat dalam plasma-waktu (AUC)
- Data urin
- Jumlah kumulatif obat yang diekskresi dalam urin (Du)
- Laju ekskresi obat dalam urin (dDu/dt)
- Waktu untuk terjadi ekskresi obat maksimum dalam urin(t∞)
- Efek farmakologi akut
- Pengamatan klinik (Shargel,1988).
2.4 Bioekivalensi
2.4.1 Bahasan Umum Bioekivalensi
Bioekivalensi/kesetaraan
biologi (BE) dapat didefinisikan, tidak adanya perbedaan secara
signifikan/bermakna pada rate dan extent zat aktif dari dua
produk obat yang memiliki kesetaraan farmasetik, misalnya antara tablet A yang
merupakan produk obat uji dan tablet B yang merupakan produk obat pembanding
(inovator), sehingga menjadi tersedia pada tempat kerja obat ketika keduanya
diberikan dalam dosis zat aktif yang sama dan dalam desain studi yang tepat
. Pada kebanyakan produk
obat yang diberikan secara oral dan transdermal (kulit), BA digambarkan sebagai
profil pemaparan sistemik (darah) yang didapat dari pengukuran konsentrasi zat
aktif dalam plasma darah sepanjang rentang waktu tertentu, setelah pemberian
produk obat kepada subjek/sukarelawan. Biasanya tidak menyertakan wanita karena
terdapatnya siklus menstruasi yang akan mengakibatkan bervariasinya karakter
farmakokinetika. Hal itu akan memengaruhi penilaian terhadap luas di bawah
kurva (AUC), perkembangan kadar obat (zat aktif utuh dan atau metabolitnya).
Setelah obat diberikan kepada sukarelawan, maka pada
interval waktu tertentu diambil darahnya (disampling) untuk ditentukan kadar
zat aktifnya dalam plasma oleh suatu metode tertentu. Kemudian dibuat kurva
konsentrasi zat aktif dalam plasma - waktu yang memuat minimal sembilan titik
(sembilan data sampling).
Dipandang dari sudut farmakokinetika, studi BA dapat
menyediakan informasi tambahan yang berguna yaitu metabolisme, transportasi,
distribusi, dan eliminasi zat aktif, kesesuaian dosis, efek makanan terhadap
absorpsi/penyerapan zat aktif, dan sebagainya. Dipandang dari sudut kinerja
produk obat, studi BA merupakan penunjuk berhasil tidaknya atau penampilan
suatu formulasi obat yang dilakukan pada saat clinical trial (suatu
percobaan untuk membuktikan keamanan dan khasiat obat).
Apabila dilakukan formulasi ulang terhadap produk obat
tersebut atau dilakukan produksi obat yang setara secara generik yang
mengandung zat aktif yang sama pada industri farmasi lain, maka harus memiliki
penampilan BA yang sesuai dengan obat pada saat clinical trial tersebut.
BE merupakan suatu penentuan BA relatif antara dua produk
obat sehingga merupakan tampilan komparatif produk obat. Walaupun penentuan BA
dapat menunjukkan kualitas produk obat, akan tetapi BE merupakan tes komparatif
yang formal antara produk obat uji dan produk obat pembanding (baik inovator
ataupun produk obat yang sudah dinyatakan kesetaraan biologiknya). Tes
komparatif itu menggunakan kriteria khusus untuk menilai adanya perbedaan
bermakna atau tidak. Bila tenyata tidak ada perbedaan bermakna, maka produk
obat uji tersebut dinya- takan bioekivalen dengan produk obat pembanding (Ansel,1988 ).
2.4.2 Kriteria untuk Menetapkan Suatu Persyaratan
Bioekivalensi
Persyaratan bioekivalensi diberlakukan oleh FDA atas
daras sebagai berikut :
- Adanya fakta dari percobaan klinik yang terkendali dengan baik atau pengamatan terkendali pada penderita yang menyatakan bahwa berbagai produk obat tidak memberikan efek terapetik yang sebanding.
- Adanya fakta dari studi bioekivalensi yang terkendali dengan baik yang menyatakan bahwa produk-produk tersebut bukan merupakan produk-produk obat yang bioekivalensi
- Adanya fakta bahwa produk-produk obat memperlihatkan rasio terapetik yang sempit dan konsentrasi efektif minimum dalam darah, serta penggunaanya secara aman dan efektif memerlukan titrasi dosis yang cermat.
- Penetapan secara medik oleh yang berwewenang menyatakan bahwa suatu kekurangan bioekivalensi akan menyebabkan suatu efek yang tidak dikehendaki yang membahayakan dalam pengobatan.
- Sifat fisiko kimia seperti : bahan obat mempunyai kelarutan yang rendah didalam air, laju pelarutan dari satu atau lebih produk rendah, ukuran partikel, bentuk struktur tertentu dari bahan obat aktif, produk obat yang mempunyai bahan tambahan yang besar terhadap bahan aktif, bahan inaktif tertentu mungkin diperlukan untuk absorbsi bahan aktif yang dapat mempengaruhi absorbsi (Aiache,1992).
2.4.3..Kriteria Bioekivalensi
Bioekivalensi berdasarkan data kadar obat didalam darah
ada tiga parameter penting dalam mengevaluasi bioekivalensi antara dua
formulasi obat yang sama yaitu :
1.
Kadar maksimial/kadar puncak
Merupakan kadar
obat yang tertinggi yang terdapat didalam darah dicapai setelah pemberian
secara oral
- Waktu mencapai kadar maksimal
Waktu mencapai kadar maksimal merupakan waktu
yang diperlukan untuk mencapai kadar maksimal setelah pemberian obat. Parameter
ini berkaitan erat dengan kecepatan absorbsi obat dan dapat digunakan sebagai
ukuran yang sederhana untuk mengukur
kecepatan absorbsi.
- Luas area dibawah kurva
Merupakan parameter terpenting dan murupakan indikasi
jumlah obat yang dapat mencapai sistem sistemik didalam tubuh setelah
pemberiaan suatu obat dengan dosis tunggal secara oral.
Kriteria bioekivalensi
berdasarkan data urin :
1
Jumlah
kumulatif obat didalam urin ( Du)
2
Laju
ekresi obat didalam urin ( dDu/dt )
3
Waktu
untuk terjadinya ekskresi obat secara maksimum didalam urin .
Jika kecepatan dan jumlah obat yang dieksresikan melalui urin setelah
pemberian 2 macam produk obat yang
mengandung obat aktif yang sama itu identik, dapat disimpulkan bahwa kedua
produk obat tersebut adalah bioekivalen. Ini didasarkan pada konsep bahwa obat
yang dieksresikan kedalam urin berasal dari darah.Jika kedua profil kadar obat
dalam darah dan pengukuran eksresi obat dalam urin diperoleh dari subyek yang
sama, maka kedua data tersebut merupakan komlemen satu sama lain ( Ringoringo.,
1985).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar