Rabu, 17 September 2014

Sulfadiazin Dan Furosemide

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Bahan
2.1.1 Sulfadiazin
         
           Gambar 1. Struktur bangun Sulfadiazin 
Nama kimia                     : N-2-piridinil sulfanilamide
Nama lazim                      : Sulfadiazinum/sulfadiazine
Rumus kimia                    : C10H10N4O2S
BM                                    : 250,27
Pamerian                            :Putih, putih kekuningan atau putih agak merah                jambu; hampir tidak berbau; tidak berasa.
Kelarutan                        :Praktis tidak larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol (95%) P dan dalam aseton P; mudah larut dalam asam mineral encer dan dalam larutan alkali hidroksida.
Khasiat dan penggunaan    : Antibakteri
Dosis maksimum               : Sekali 2 g, sehari 8 g  (Ditjen POM,1995).
2.1.2 Furosemid
Gambar 2.Struktur bangunFurosemida
Nama kimia                             : Asam-4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoilantranilat
Nama lazim                             : Furosemidum, Furosemida
Rumus kimia                           : C12H11ClN2O5S
BM                                          : 330,74
Pamerian                                 :serbuk hablur; putih atau hampir putih; tidak berbau; hampir tidak berasa.
Kelarutan                                : Praktis tidak larut dalam air dan dalam kloroform P, larut dalam 75 bagian etanol (95%) P dan dalam 850 bagian eter P; larut dalam larutan alkali hidroksida.
Khasiat                                    : diuretikum
Dosis maksimum                     : 40 mg  (Ditjen POM, 1995).
2.1.3 Farmakologi
2.1.3.1 Sulfadiazin
            Absorbsi diusus terjadi cepat, kadar maksimal dalam darah tercapai dalam waktu 3-6 jam sesudah pemberian dosis tunggal.
            Kira –kira 15-40% dari obat yang diberikan diekskresi dalam bentuk asetil yang lebih mudah untk diekskresikan.Hampir 70 % obat ini mengalami reansorbsi di tubuli ginjal dan pemberian alkali memperbesar bersihan ginjal dengan mengurangi reabsorbsi tubuli. Karena beberapa macam sulfa sukar larut dalam urin yang asam, maka sring timbul kristaluria dan komplikasi ginjal lainnya. Untuk mencegah ini penderita dianjurkan minum banyak air agar produksi tidak kurang dari 1200 ml/hari atau diberikan sediaan alkalis seperti Na-Bikarbonat untuk menaikan pH urin.
            Dosis permulaan oral pada orang dewasa 2-4 g, di lanjutkan dengan 2-4g dalam 3-6 kali pemberian, lamanya pemberian tergantung dari keadaan penyakit. Anak – anak berumur lebih dari dua bulan diberikan dosis awal setengah dosis perhari kemudian dilanjutkan dengan 60-150 mg/Kg BB dalam 4-6 kali pemberian. Sediaan biasanya terdapat dalam bentuk tablet 500 mg ( Tjay,2002 ).
2.1.3.2 Furosemid
            Furosemid merupakan obat golongan diuretik kuat, yang efektif terhdap pengobatan udem akibat gangguan jantung, hati atau ginjal dan hipertensi. Pengobatan dengan furosemid sering menimbulkan permasalahan bioavaiabilitas per oral (Al Obaid et al 1989 ;  Sutriyo, et al.,2005).
            Diuretik kuat terutama bekerja dengan cara menghambat reabsorbsi elektrolit di Ansa Henle asenden bagian epitel tebal. Pada pemberiannya secara IV obat ini cenderung meningkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi glomerulus. Perubahan hemodinamik ginjal mengakibatkan menurunya reabsorbsi ciran dan elektrolit di tubuli proksimal serta meningkatnya efek awal diuretik. Peningkatan aliran darah ginjal ini relatif hanya berlangsung sebentar, dengan berkurangnya cairan ekstraseluler akibat diuresis, maka aliran darah ke ginjal menurun dan hal ini akan mengakibatkan meningkatnmya reabsorbsi cairan dan elektrolit di tubuli proksimal. Hal yang terakhir ini agaknya merupakan mekanisme kompensasi yang membatasi jumlah yang terlarut yang mencapai bagian epitel dengan demikian akan mengurangi diuresis ( Tjay,2002 ).
Bioavailbilitas furosemid 65%. Diuretik kuat secara cepat diabsorpsi dan dieliminasi melalui sekresi ginjal dan filtrasi glomerulus. Respons diuretik secara cepat setelah pemberian intravena. Lamanya efek bervariasi 2-3 jam. Waktu paruh tergantung fungsi ginjal. Karena furosemid bekerja pada bagain luminal tubulus, respons diuretik berhubungan secara positif dengan sekresinya di urin. Gangguan sekresi dan bersihan obat ini mungkin terjadi bila obat tersebut diberikan bersamaan dengan obat-obat seperti indometasin dan probenesid, yang akan menghambat sekresi asam lemah di tubulus proksimal (Jawetz, 1997).
2.2.      Uji Disolusi
2.2.1    Bahasan Umum Uji Disolusi
            Suatu produk obat dapat berbeda dari produk pabrik lain dalam hal bahan baku, komposisi/formula, serta fabrikasinya. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan perbedaan dalam pelepasan bahan obat dari sediaan yang akhirnya akan berpengaruh pada efikasi/kemanjuran produk tersebut. Pada umumnya produk obat mengalami absorbsi sistemik melalui suatu rangkaian proses yang meliputi :
  1. disintegrasi produk yang diikuti dengan pelepasan obat
  2. pelarutan obat dalam media “aqueous”
  3. absorbsi melalui membran sel menuju sirkulasi sstemik
Pada ketiga proses di atas ditentukan oleh tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetic yang sering disebut tahap penentu kecepatan (Rate Limiting Step). Untuk obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan seringkali merupakan tahap yang paling lambat di dalam, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Sebaliknya untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalm air, laju pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat melewati membran merupakan tahap penentu kecepatannya.
Telah banyak publikasi yang menyatakan adanya hubungan yang bemakna antar kecepatan disolusi berbagai bahan obat dari sediaannya dan absorbsinya. Obat-obat tersebut umumya meliputi obat-obat yang kecepatan disolusinya sangat lambat yang disebabkan kelarutannya sangat kecil. Obat-obat yang memiliki kecepatn disolusi intrinsik yang < 0,1 mg/menit.cm2 biasanya menimbulkan masalah serius pada absorbsinya, seangkan obat-obat yang memiliki kecepatan disolusi intrinsic > 1,0 mg/menit.cm2. Pada umunya kecepatan disolusi bukan menjadi langkah penentu, tapi kecepatan absorbsinya.
Secara sederhana, disolusi adalah proses dimana zat padat melarut. Secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari berbagai bentuk sediaan padat terlibat berbagai proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi, dan degradasi sediaan, merupakan sebagaian dari faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi obat dari sediaan.
Banyak cara untuk mengungkapkan hasil kecepatan pelarutan suat zat atau sediaan, berikut adalah beberapa cara penentuan kecepatan pelarutan suatu zat:  
1. Metode Klasik
Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tida diketahui. Titik tersebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu.
2. Metode Khan
Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency (DE) area di bawah kurva disolusi di antara titik waktu yang ditentukan. Dirumuskan dengan persamaan sebagi berikut :
DE = 0t ∫Y dt x 100%
Keuntungan metode ini adalah :
  1. Dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan harga DE
  2. Dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo karena penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara penggambaran pecobaan in vivo
3. Metode linierisasi kurva kecepatan pelarutan dengan menggunakan sebagai contoh persamaan wagner
Berdasarkan pada asumsi sebagai berikut :
a. kondisi percobaan harus dalam keadaan sink
b. proses pelarutan mengikuti orde I
c. luas permukaan spesifik (S) turun secara eksponensial fungsi waktu
d. kondisi proses pelarutannya non reaktif
                                                      (http://rara87.wordpress.com/2008/11/29/)
Menurut Suarbrick, J. (1970),  faktor – faktor yang mempengaruhi disolusi:
1.      Pengurangan ukuran partikel
Pengurangan ukuran partikel obat menambah luas permukaan obat, sehingga menambah luas permukaan obat yang terkena medium disolusi sebagai hasilnya menambah absorbsi.
2.       Bentuk kristalisasi obat
Obat – obat tertentu dapat berada dalam bentuk amorf atau sebagai bentuk kristal (polimorf). Polimorf mempunyai struktur kimia sama tetapi berbeda sifat fisik seperti kelarutan, afinitas, kekerasan dan lain-lain.
4.      Hidrat atau solvat
Solvat : obat yang bergabung dengan molekul pelarut untuk menambah bentuk kristal. Bila pelarut adalah air, solvate yang terbentuk disebut hidrat.
5.      Garam
Laju disolusi dan absorbsi dari garam-garam mono valen dari obat-obat asam lemah atau garam-garam asam kuat dari obat asam basa lemah biasanya akan lebih cepat daripada asam atau basa bebasnya.
6.      Faktor-faktor formulasi
Bahan-bahan tambahan dan cara yang dipakai dalam formulasinya dan pembuatan sediaan bentuk padat dapat mempengaruhi pelepasan obat dalam cairan gastrointestinal dan oleh karena itu mempengaruhi laju absorbsi.
Disolusi ( pelarutan) adalah proses dimana suatu zat padat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologik disolusi obat dalam media “aqueous” merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi absorbsi sistemik. Laju disolusi obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorbsi sistemik obat (Abdou, 1995).
2.2.2 Metode Uji disolusi
Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian antara persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul , kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masing-masing monografi , uji disolusi atau uji waktu hancur tidak setara khusus dinyatakan untuk sediaan bersalut enterik, maka digunakan cara pengujian untuk  (Ditjen POM, 1995).
a.       Metode Keranjang (Basket )
Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi (Ditjen POM, 1995).
b.      Metode Dayung (Paddle)
Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada 37oC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan (Ditjen POM, 1995).
c.       Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi
Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP ”basket and rack” dirakit untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk pelarutan maka cakram dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat (Shargel, L., 1988).
2.2.3  Guna Uji Disolusi
Ø Disolusi merupakan profil pelepasan zat aktif dari sediaan
Ø Uji disolusi merupakan pengujian mutu sediaan tablet dari batch ke batch
Ø Data uji disolusi juga penting untuk pengembangan mutu sediaan (Shargel, L, 1988).
2.3         Bioavialabilitas
2.3.1    Bahasan Umum Bioavailabilitas
Konsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Osser pada tahun 1945, yaitu pada waktu Osser mempelajari absorbsi relatif sediaan vitamin. Istilah yang dipakai pertama kali adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluas pengertiannya dengan istilah biavailabilitas. Dimulai di negara Amerika Serikat, barulah pada tahun 1960 bioavailabilitas masuk ke dalam arena promosi obat.   Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya produk obat yang sama yang diproduksi oleh berbagai industri obat, adanya keluhan dari pasien dan dokter dimana obat yang sama memberika efek terapetik yang berbeda, kemudian dengan adanya ketentuan tidakdiperbolehkannya apotek mengganti obat yang tertulis dalam resep dengan obat merek lainnya. Sebagai cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai defenisi tentang bioavailabilitas dalam berbagai literatur.
Bioavailabilitas (BA) adalah persentase obat yang diresorbsi tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia, untuk melakuka efek terapeutisnya. Dibeberapa negara (AS, Jerman), BA mencakup pula kecepatan dengan mana obat muncul disirkulasi darah. Biasnya efek obat baru mulai tampak sesudah obat sistem pembuluh porta serta hati kemudian tiba diperedaran darah besar yang mendistribusikannya keseluruh jaringan (Ringoringo,V.S. (1985).
Penerapan ketersediaan hayati berkembang dalam dua arah, yaitu:
1. Farmasi klinik yang berkaitan dengan rasionalisasi keadaan individu penderita, artinya penyesuaian pasologi yang tepat pada setiap penderita, dengan mempertimbangkan perubahan farmakokinetika in vivo, baik karena interaksi obat maupun karena fungsi fisiolagi.
2. Farmasetika yang berkaitan dengan rasionalisasi pengembangan suatu obat, yaitu penyesuaian optimal jalur pemberian obat dan bentuk sediaan terhadap karakteristik farmakokinetika zat aktif.
Kedua arah pengembangan tersebut tercakup dalam lingkup penelitian biofarmasetika dan berkaitan dengan penyesuaian pada kurva profil kadar zat aktif dalam darah penderita dan efek yang diteliti.
Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan:
1. Banyaknya obat yang diabsorbsi dari formulasi sediaan.
2. Kecapatan obat yang diabsorbsi.
3. Lama obat berada dalam cairan biologi atau jaringan dan dikorelasikan dengan respon pasien.
4. Hubungan antara kadar obat dalam darah dan efikasi klinis serta toksisitas (http://firda05.wordpress.com//ketersediaan-hayati ).             
2.3.2    Tujuan Penelitian Bioavailabilitas
            Evaluasi ketersediaan hayati suatu obat atau berbagai bentuk sediaan farmasi dengan zat aktif yang sama mempunyai tiga tujuan yaitu :
  1. Dalam rangka pengembangan obat baru, untuk mengetahui cara pemberian dan bentuk sediaan suatu obat baru
  2. Setelah keputusan obat baru dibuat, untuk menentapkan mutu suatu obat dan pengaturan kondisi pemakaian obat sebagai fungsi dari keadaan penderita
  3. Berkaitan dengan undang-undang, untuk memastikan kesetaraan mutu oabt yang diteliti denagn mutu obat sejenis yang dihasilkan oleh pabrik lain, sehingga memungkinkan pengantian obat.  
            Studi bioavialabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapetik yang belum disetujui oleh FDA untuk dipasarkan. Formula baru dari bahan obat aktif atau bagian terapetik sebelum dipasarkan harus disetujui oleh FDA. FDA dalam menyetujui suatu produk obat untuk dipasarkan harus yakin bahwa produk obat tersebut aman dan efektif sesuai label indikasi pengguanaan. Selain itu, produk obat juga harus memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas, kekuatan,  kualitas dan kemurnian. Untuk meyakinkan bahwa standar – standar tersebut telah dipenuhi, FDA menghendaki studi bioavialabilitas/farmakokinetika dan bila perlu persyaratan bioekivalensi semua produk obat.
Studi bioavailabilitas in vivo juga dilakukan terhadap formula-formula baru dari bahan obat aktif yang telah mendapat persetujuan FDA dan disetujui untuk dipasarkan. Maksud studi ini adalah untuk menentukan bioavailabilitas dan karakterisasi farmakokinetik formulasi, bentuk sediaan, garam atau ester baru terhadap suatu formula pembanding.
Setelah bioavailabilitas dan parameter-parameter farmakokinetik dari bahan obat aktif diketahui, aturan dosis dapat diajukan untuk mendukung pemberian label obat.
Sebagai ringkasan, studi klinik berguna dalam menentukan keamanan dan efikasi produk obat. Studi bioavailabilitas berguna dalam menetapkan produk obat dalam kaitan pengaruhnya terhadap farmakokinetik obat; sedangkan studi bioekivalensi berguna dalam membandingkan bioavailabilitas suatu obat dari berbagai produk obat. Apabila produk-produk obat dinyatakan bioekivalen, maka efikasi dari produk-produk obat ini dianggap sama ( Shargel,1988).
2.3.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Bioavailabilitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati obat yang digunakan secara oral :
a. Sifat fisiko kimia zat aktif
·  Bentuk isomer ; alkaloid – alkaloid dan steroid – steroid terdapat dalam beberapa bentuk isomer d atau l. Seringkali yang aktif atau lebih aktif hanya satu saja misal : d- etambutol, d-propoksifen,d-amfetamin, l-kloramfenikol.
·  Polimorfose ; bentuk Kristal yang kurang stabil lebih mudah larut dan kemudian cepat terabsorbsi daripada bentuk kristal yang stabil,missal kloramfenikol mempunyai 2 bentuk polimofi A dan B ; Kristal bentuk A bersifat tidak aktif.
·  Ukuran partikel; bila ukuran partikel lebih kecil luas permukaan akan besar, sehingga obat akan cepat melarut dan diabsorbsi.
·  Hodrate dan solvate ; kadang- kadang beberapa obat cenderung untuk mengikat beberapa molekul pelarut. Ikatan ini disebut solvate, dan kalau pelarutnya adalah air maka ikatan ini disebut hidrat. Ampisillin anhidrat lebih mudah larut daripada ampisillin trihidrat, sehingga pemakaian peroral akan memberikan blood level lebih tinggi.
·  Bentuk garam, Ester dan lainnya; gugusan estolat dri eritromisin estolat dapat menyebabkan hepatotoksisitas, sedangkan stearatnya tidak.
·  Kemurnian; bahan baku Pinisillin yang tidak murni bisa mengandung mikrokontaminan berupa hasil degradasi pinisillin sendiri, bahan inferior ini yang dapat menyebabkan alergi. Namun, meskipun telah menggunakan bahan baku murni kalau cara dan kondisi produksi dalam hal ini kebersihan, temperature, dan kelembaban kurang baik, bahan pinisillin ini akan menimbulkan efek samping yang sama.
b.        Bahan- bahan pembantu;banyak obat- obatan dimana pengaruh bahan – bahan pembantu dapat merubah secara drastic pola absorbsinya dan oleh karena itu efek terapi dan toksisitasnya juga berpengaruh, seperti meningkatnya toksisitas fenitoin setelah bahan pembantu yng semula dipakai CaSO4 diganti dengan laktosa.
c. Cara- cara prosesing
·  Formulasi obat yang sudah baik dalam suatu pabrik biasanya sama sekali berubah bila dibuat oleh pabrik lain dengan penggunaan alat-alat yang berbeda. Hal ini menjadi masalah kritis apabila digunakan untuk memproduksi tablet- tablet dengan kadar zat khasiat yang rendah seperti digoksin 0,25 mg/tablet 200mg.
·  Ruangan dan kondisi- kondisinya ( temperature, kelembaban, penerangan , dan sebagainya ) yang memenuhi syarat. Misalnya pada pembuatan sediaan tetrasiklin yang merupakan bahan baku yang kurang stabil pada kondisi tertentu sehingga dapat mengakibatkan penguraian tetrasiklin menjadi non aktif, hepatoksik, dan nefrotoksik.
·  Tenaga- tanaga yang kompeten.
·  Dikerjakan dengan system produksi dan system control yang baik. Dalam hal ini persyaratan- persyaratan Good Manufacturing Practises ( GMP ) menjadi penting (http://firda05.wordpress.com//ketersediaan-hayati ).     
2.3.4  Evaluasi bioavaibilitas
            Evaluasi ketersediaan hayati memerlukan kerjasama suatu tim pakar, karena :
  • Keragaman reaksi makhluk hidup, kesulitan penetapan kadar runutan senyawa kimia obat dalam cairan biologis, pengaruh subyek hidup dan pengaruh bentuk sediaan farmasi.
  • Pemahaman keberadaan obat di dalam tubuh mendasari pembuatan protokol percobaan. Jadi analisis hasil percobaan memerlukan seseorang pakar farmakokinetik yang dapat bekerja sama.
Penelitian biovailabilitas (ketersediaan hayati) ini  kadang kadang memerlukan biaya yang mahal karena harus menggunakan subyek manusia. Oleh sebab itulah sebelum melakukan penelitian ketersediaan hayati perlu dilakukan serangkaian persiapan yang lengkap dan rinci agar dapat mengolah data yang diperoleh dan dapat melakukan interpretasi yang cermat  ( Aiche, 1993 ).
2.3.5  Pelaksaaan Penelitian Bioavailabilitas
Penelitian bioavailabilitas obat memerlukan fasilitas laboratorium analisis/bioanalitik yang canggih dengan tenaga ahli yang profesional dan harus memenuhi persyaratan tertentu. Untuk beberapa macam obat, persyaratan pelaksanaannya telah dikeluarkan oleh American Pharmaceutical Association dalam bukunya The Bioavailability of Drug Products.
Secara garis besar pelaksanaan suatu penelitian bioavailabilitas obat dilakukan sebagai berikut :
1)Pemilihan sukarelawan yang mencakup pemeriksaan kesehatan, penandatanganan informed consent.
2) Periode puasa dari minum obat apapun (1 minggu)
3) Puasa 1 malam sebelum pemberian obat
4) Pemberian obat
5) Pengambilan sampel darah dan/atau urin pada interval waktu tertentu.
Obat – obat yang perlu diteliti bioavailabilitasnya adalah sebagai berikut :
1) Obat-obat yang batas keamanannya sempit
2) Obat-obat yang absorpsinya berfluktuasi
3) Obat-obat yang variasi individunya besar dalam kadar plasma pada dosis biasa
4) Diperlukan untuk mempertahankan MEC/MIC obat dalam cairan hayati selama terapi
2.3.6   Metode Penilaian Bioavailabilitas
Pemilihan metode bergantung pada tujuan studi, metode analisis untuk penetapan kadar obat dan sifat produk obat. Parameter-parameter yang berguna dalam penentuan bioavailabilitas suatu obat meliputi:
  1. Data plasma
    1. Waktu konsentrasi plasma (darah) mencapai puncak (tmaks)
    2. Konsentrasi plasma puncak (Cp,maks)
    3. Area di bawah kurva kadar obat dalam plasma-waktu (AUC)
  2. Data urin
    1. Jumlah kumulatif obat yang diekskresi dalam urin (D)
    2. Laju ekskresi obat dalam urin (dDu/dt)
    3. Waktu untuk terjadi ekskresi obat maksimum dalam urin(t)
  3. Efek farmakologi akut
  4. Pengamatan klinik (Shargel,1988).
2.4       Bioekivalensi
2.4.1    Bahasan Umum Bioekivalensi
Bioekivalensi/kesetaraan biologi (BE) dapat didefinisikan, tidak adanya perbedaan secara signifikan/bermakna pada rate dan extent zat aktif dari dua produk obat yang memiliki kesetaraan farmasetik, misalnya antara tablet A yang merupakan produk obat uji dan tablet B yang merupakan produk obat pembanding (inovator), sehingga menjadi tersedia pada tempat kerja obat ketika keduanya diberikan dalam dosis zat aktif yang sama dan dalam desain studi yang tepat
.  Pada kebanyakan produk obat yang diberikan secara oral dan transdermal (kulit), BA digambarkan sebagai profil pemaparan sistemik (darah) yang didapat dari pengukuran konsentrasi zat aktif dalam plasma darah sepanjang rentang waktu tertentu, setelah pemberian produk obat kepada subjek/sukarelawan. Biasanya tidak menyertakan wanita karena terdapatnya siklus menstruasi yang akan mengakibatkan bervariasinya karakter farmakokinetika. Hal itu akan memengaruhi penilaian terhadap luas di bawah kurva (AUC), perkembangan kadar obat (zat aktif utuh dan atau metabolitnya).
            Setelah obat diberikan kepada sukarelawan, maka pada interval waktu tertentu diambil darahnya (disampling) untuk ditentukan kadar zat aktifnya dalam plasma oleh suatu metode tertentu. Kemudian dibuat kurva konsentrasi zat aktif dalam plasma - waktu yang memuat minimal sembilan titik (sembilan data sampling).
            Dipandang dari sudut farmakokinetika, studi BA dapat menyediakan informasi tambahan yang berguna yaitu metabolisme, transportasi, distribusi, dan eliminasi zat aktif, kesesuaian dosis, efek makanan terhadap absorpsi/penyerapan zat aktif, dan sebagainya. Dipandang dari sudut kinerja produk obat, studi BA merupakan penunjuk berhasil tidaknya atau penampilan suatu formulasi obat yang dilakukan pada saat clinical trial (suatu percobaan untuk membuktikan keamanan dan khasiat obat).
            Apabila dilakukan formulasi ulang terhadap produk obat tersebut atau dilakukan produksi obat yang setara secara generik yang mengandung zat aktif yang sama pada industri farmasi lain, maka harus memiliki penampilan BA yang sesuai dengan obat pada saat clinical trial tersebut.
            BE merupakan suatu penentuan BA relatif antara dua produk obat sehingga merupakan tampilan komparatif produk obat. Walaupun penentuan BA dapat menunjukkan kualitas produk obat, akan tetapi BE merupakan tes komparatif yang formal antara produk obat uji dan produk obat pembanding (baik inovator ataupun produk obat yang sudah dinyatakan kesetaraan biologiknya). Tes komparatif itu menggunakan kriteria khusus untuk menilai adanya perbedaan bermakna atau tidak. Bila tenyata tidak ada perbedaan bermakna, maka produk obat uji tersebut dinya- takan bioekivalen dengan produk obat pembanding  (Ansel,1988 ).
2.4.2 Kriteria untuk Menetapkan Suatu Persyaratan Bioekivalensi
            Persyaratan bioekivalensi diberlakukan oleh FDA atas daras sebagai berikut :
  1. Adanya fakta dari percobaan klinik yang terkendali dengan baik atau pengamatan terkendali pada penderita yang menyatakan bahwa berbagai produk obat tidak memberikan efek terapetik yang sebanding.
  2. Adanya fakta dari studi bioekivalensi yang terkendali dengan baik yang menyatakan bahwa produk-produk tersebut bukan merupakan produk-produk obat yang bioekivalensi
  3. Adanya fakta bahwa produk-produk obat memperlihatkan rasio terapetik yang sempit dan konsentrasi efektif minimum dalam darah, serta penggunaanya secara aman dan efektif memerlukan titrasi dosis yang cermat.
  4. Penetapan secara medik oleh yang berwewenang menyatakan bahwa suatu kekurangan bioekivalensi akan menyebabkan suatu efek yang tidak dikehendaki yang membahayakan dalam pengobatan.
  5. Sifat fisiko kimia seperti : bahan obat mempunyai kelarutan yang rendah didalam air, laju pelarutan dari satu atau lebih produk rendah, ukuran partikel, bentuk struktur tertentu dari bahan obat aktif, produk obat yang mempunyai bahan tambahan yang besar terhadap bahan aktif, bahan inaktif tertentu mungkin diperlukan untuk absorbsi bahan aktif yang dapat mempengaruhi absorbsi (Aiache,1992).
2.4.3..Kriteria Bioekivalensi
            Bioekivalensi berdasarkan data kadar obat didalam darah ada tiga parameter penting dalam mengevaluasi bioekivalensi antara dua formulasi obat yang sama yaitu :
1. Kadar maksimial/kadar puncak
     Merupakan kadar obat yang tertinggi yang terdapat didalam darah dicapai setelah pemberian secara oral
  1. Waktu mencapai kadar maksimal
Waktu mencapai kadar maksimal merupakan waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar maksimal setelah pemberian obat. Parameter ini berkaitan erat dengan kecepatan absorbsi obat dan dapat digunakan sebagai ukuran yang  sederhana untuk mengukur kecepatan absorbsi.
  1. Luas area dibawah kurva
            Merupakan parameter terpenting dan murupakan indikasi jumlah obat yang dapat mencapai sistem sistemik didalam tubuh setelah pemberiaan suatu obat dengan dosis tunggal secara oral.
Kriteria bioekivalensi berdasarkan data urin :
1        Jumlah kumulatif obat didalam urin ( Du)
2        Laju ekresi obat didalam urin ( dDu/dt )
3        Waktu untuk terjadinya ekskresi obat secara maksimum didalam urin .
Jika kecepatan dan jumlah obat yang dieksresikan melalui urin setelah pemberian 2 macam produk obat  yang mengandung obat aktif yang sama itu identik, dapat disimpulkan bahwa kedua produk obat tersebut adalah bioekivalen. Ini didasarkan pada konsep bahwa obat yang dieksresikan kedalam urin berasal dari darah.Jika kedua profil kadar obat dalam darah dan pengukuran eksresi obat dalam urin diperoleh dari subyek yang sama, maka kedua data tersebut merupakan komlemen satu sama lain ( Ringoringo., 1985).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar